.comment-link {margin-left:.6em;}
I can't believe another area of the country was hit by another disaster. I hope that you weren't vacationing to Pengendaran this time, or there on business.
Seorang sahabat berkata dalam email-nya.
I am sorry to hear about the earthquake. I hope everything is okay with you and your family. I also hope you were not anywhere near the hit area, like you were the last time.
Teman lain bertutur dalam emailnya.
Lu nggak lagi di Selat Sunda, kan?
Tanya seorang teman lain melalui telfon pada Rabu malam.
Pertanyaan dan pernyataan diatas saya terima menyusul terjadinya gempa di daerah Pangandaran, yang kemudian diikuti oleh tsunami hari Senin kemarin, serta gempa yang terjadi di daerah Jakarta dan sekitarnya yang berpusat di Selat Sunda pada hari Rabu kemarin.
Mengingat saya sangat jarang pergi ke Pangandaran (kalau tidak salah seumur hidup baru sekali saya kesana), tadinya saya menganggap pertanyaan dan pernyataan di atas agak aneh, bahkan agak membuat saya geli. Namun setelah saya renungkan sebentar, ternyata pertanyaan dan pernyataan diatas memang pantas diajukan ke saya. Teman-teman saya punya alasan sendiri untuk menanyakan apa yang mereka tanyakan kepada saya, mengingat 'sejarah keterlibatan' saya dalam beberapa kejadian.
Saat bom kuningan meledak di depan Australian Embassy pada September 2004, saya baru mulai berkantor di sebuah gedung yang persis terletak di depan embassy tersebut. Saya yang sedang asyik menekuni komputer di meja saya terlempar dari kursi ke seberang ruangan ketika bom meledak. Beruntung saya terlempar, karena meskipun badan saya kemudian lebam-lebam dan lecet-lecet sedikit, at least saya tidak terluka kena pecahan kaca sehingga berdarah-darah. It could have been a lot worse karena ternyata pasca ledakan, meja dan kursi saya penuh dengan pecahan kaca, dan laptop saya kehilangan sebagian tuts keyboard plus menderita beberapa scratch di bagian layarnya. Saat berusaha keluar gedung melalui tangga darurat, saya juga sempat tergencet arus orang yang semuanya berusaha menyelamatkan diri pada saat yang bersamaan. Saya sempat berfikir mungkin inilah akhir hidup saya. Namun ternyata saya salah. Alhamdulillah.
Karena baru mulai bekerja, belum banyak teman dan saudara yang tahu saya berkantor di gedung tersebut, sehingga banyak kenalan saya terkejut ketika mengetahui bahwa saya berada di sekitar daerah dimana bom meledak.
Maret 2006, dalam perjalanan menuju Aceh, pesawat yang saya naiki dari Jakarta mengalami gangguan teknis, sehingga harus mendarat darurat di Palembang. Meskipun pendaratan yang terjadi terhitung mulus (tetap kaget juga sih, saat mendarat melihat keluar jendela pesawat, di runway ternyata ambulans dan mobil pemadam kebakaran sudah disiapkan), dan gangguan teknis ternyata bisa diatasi sehingga pesawat bisa terbang kembali, tetap saja namanya pendaratan darurat. Saya sempat ketar-ketir juga sebelum mendarat, dan sempat terlintas sedikit di benak saya, bahwa bisa jadi inilah akhir hidup saya. Namun saya salah lagi. Alhamdulillah.
Beberapa teman tidak mengetahui bahwa saya pergi ke Aceh, sehingga mengetahui saya berada dalam pesawat yang mendarat darurat di Palembang mengagetkan bagi mereka.
27 Mei 2006, saya sedang menikmati pagi terakhir di Yogyakarta, setelah berada di sana selama tiga hari bersama rombongan teman Jalan Bebas, ketika gempa mengguncang. Selamat dari gempa, saya dan teman-teman sempat dibuat panik oleh isu terjadinya tsunami. Lagi-lagi saya berpikir bahwa saat itu mungkin adalah akhir dari hidup saya. Sekali lagi saya salah. Alhamdulillah.
Banyak teman saya yang tidak saya kabari bahwa saya pergi trekking ke Yogya, sehingga lagi-lagi mereka kaget mengetahui saya berada di Yogya ketika gempa terjadi.
Bukan salah mereka memang kalau kemudian mereka berkomentar, "Kayaknya lu tu ada dimana-mana ya. Kalo ada kejadian apa gitu, kok lu bisa ada disitu", atau komentar lain, "Kalo kaya kucing nyawanya 9, punya lo tinggal 6 kali ya". Atau seperti ibu saya yang berkomentar, "Kamu itu sangat beruntung dan sudah seharusnya merasa sangat bersyukur. Oya, kayanya kamu harus di ruwat deh." Halah....memangnya SBY...
Yang pasti saya mengucap syukur yang tidak putus-putus kepada Allah SWT karena saya masih diberikan umur panjang dan masih diloloskan dari kejadian-kejadian diatas untuk melanjutkan hidup saya. Semoga saya termasuk orang yang bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari semua kejadian yang terjadi dalam hidup saya. Amin.
I wish to express my deepest condolence to the earthquake and tsunami victims around Pangandaran area. May Allah SWT be with us all.
(~Saya masih takut melihat mobil box di jalan, deg2an kalau naik pesawat, dengar bunyi truk gandeng, dan masih takut kalau ada benda yang bergoyang-goyang, meskipun hanya goyang sedikit. Saya juga hanya bisa menghela nafas panjang (lagi2) menanggapi komentar dan tindakan dari para pejabat kita dalam menangani bencana gempabumi dan tsunami di Pangandaran~).
Setelah beberapa lama merasakan sakit di daerah punggung sebelah bawah, serta setelah beberapa kali insiden jatuh dan satu insiden saat main bowling yang menyebabkan sakit saat berjalan, saya dengan sangat terpaksa memeriksakan diri saya ke dokter. Dokter memastikan adanya tekanan pada syaraf-syaraf di daerah lumbar (lumayan barbar? Hee…*Garing mode on*…) dan sekitar tailbone saya, dan karena hasil rontgen biasa tidak cukup untuk mengetahui syaraf mana yang tertekan, maka dokter mengatakan saya harus menjalani MRI (Magnetic Resonance Imaging) examination. Karena saya awam sekali mengenai masalah diagnosa dokter tentang apa yang terjadi pada diri saya, apalagi masalah per-MRI-an, maka selepas berkunjung ke dokter, saya dibantu oleh beberapa teman (makasih yah, guys!) melakukan sedikit research (Hidup Google!!) mengenai HNP (nama kerennya sakit saya), MRI dan rumah sakit mana di Jakarta yang punya fasilitas ini (karena mahalnya alat MRI, maka tidak semua RS punya alat ini).
Hasil research kecil saya kemudian bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan kecil yang ada di benak saya. Seperti misalnya apa sih sebenarnya perbedaan antara MRI dan CT Scan?
Ternyata perbedaan yang paling utama adalah pada metode pengambilan image. MRI, seperti namanya menggunakan medan magnet dan gelombang radio untuk menghasilkan image, sedangkan CT Scan (computed tomography) menggunakan x-rays.
Berdasarkan hasil research dan setelah bertanya ke kanan dan ke kiri (terutama ke kiri meja saya, dimana terletak ruang accounting di kantor saya, untuk menanyakan apakah biaya MRI di cover perusahaan atau tidak), akhirnya saya memutuskan untuk menjalani pemeriksaan MRI di satu rumah sakit di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Salah satu pertimbangan adalah lokasinya yang dekat dengan kantor saya. Jadilah hari Jumat kemarin, saya ditemani adik saya yang manis bertolak menuju rs tersebut.
Prosedur pemeriksaan MRI ini agak ribet juga. Perawat yang menemani saya menjelaskan tentang prosedur MRI dan menanyakan berkali-kali apakah saya mempunyai benda-benda logam dalam tubuh saya. Tadinya saya ragu apakah makan bayam juga bisa dikategorikan sebagai ‘mempunyai benda logam dalam tubuh’, karena kan bayam mengandung zat besi. Tapi ternyata yang dimaksud dengan benda logam adalah benda-benda seperti pen penyambung tulang patah, atau alat pacu jantung, atau persendian artificial, atau kawat gigi, atau tambalan gigi atau gigi palsu, atau alat bantu pendengaran atau serpihan peluru (hah?? yang ini sumpah kaget).
Ini dikarenakan MRI menggunakan medan magnet yang sangat kuat (sekitar 10.000 kali lebih kuat dari medan magnet bumi) untuk menghasilkan image, sehingga benda-benda logam dalam tubuh dapat membahayakan si pasien, dan image yang di hasilkan pun kemungkinan tidak akurat. Saya juga harus mengisi dan menandatangani beberapa lembar formulir yang menyatakan operasi-operasi apa saja yang pernah saya jalani serta (sekali lagi) bahwa dalam badan saya tidak ada logam, dan bahwa saya memahami prosedur MRI dan resiko dari pemeriksaan MRI. Agak grogi juga saya saat itu, sampai saya merasa perlu menelfon ibu saya untuk meyakinkan bahwa pen yang pernah dipasang di pergelangan tangan saya untuk menyambung tulang yang patah ketika kecil sudah diangkat. Saya jadi mikir gimana kalau Logan ‘wolverine’ harus di MRI yah?
Setelah proses administrasi yang lumayan ribet itu, saya diminta untuk melepaskan dan menyerahkan benda-benda logam, kali ini yang tidak berada dalam tubuh saya, seperti kacamata, jepit rambut, cincin, jam tangan, tindikan termasuk anting-anting (kalau ini sudah tentu ga punya, kuping saya ga’ bolong, kok..), pisau saku (hah?? buat malak perawat?), pena, dan kartu kredit (ga ngerti juga, wong like most people, saya naruh kartu kredit di dompet, bukan di tempel di jidat). Saya pun harus menggunakan baju khusus yang disediakan pihak rs (tanpa zipper tentunya!!).
Setelah mengenakan baju khusus tadi, mengikuti perawat saya berjalan menuju alat MRI. Berhadapan dengan alat itu, walah….kok rada ngeri juga ya. Tabungnya entah kenapa jadi terlihat kecil, dan saya jadi merasa agak claustrophobic. Perawat mempersilahkan saya tidur di tempat yang disediakan, kemudian membungkus saya dengan selimut dua lapis. Memang suhu ruangan cukup dingin, dan “Di dalam tabung itu nanti agak lebih dingin”, kata si perawat. “Nanti Mbak, dipan ini akan masuk ke dalam tabung itu. Proses pengambilan gambarnya agak lama ya, sekitar 30 menit. Diusahakan tidak banyak bergerak ya. Alatnya nanti agak berisik seperti ada yang mengetuk-ngetuk, tapi pokoknya santai saja, kalau bisa tidur malah lebih bagus. Ini ada headphone untuk mendengarkan musik, dan ini ada tombol kalau ada keadaan darurat”, lanjut si perawat yang langsung saya sukai karena memanggil saya ‘Mbak’. Hehe…
Setelah memasang headphone, saya segera menyadari bahwa musik yang diperdengarkan adalah musik-musik pengantar tidur, yang membuat pasien mengantuk dan rileks. Saat itu lagu yang sedang mengalun adalah salah satu lagu dari Boyzone, salah satu group musik yang selalu membuat saya mengantuk karena boring-nya musik dan penampilannya (sori ye…fans boyzone). Tapi lumayanlah, untuk tujuan membuat ngantuk, it works.
“Oke, Mbak, kita mulai yah.”, si perawat ngomong lagi. Saya mulai berdebar-debar lagi, dan ketika dipan mulai bergerak memasuki tabung, saya mencengkeram erat-erat si tombol yang menghubungkan tabung (baca: saya) dan dunia luar. Setelah beberapa saat dipan telah berada sepenuhnya dalam tabung, saya pun berusaha merileks-kan badan saya sambil berkonsentrasi pada musik yang terdengar.
Tak lama kemudian si alat mulai bekerja dan…..ternyata alat yang digambarkan si perawat sebagai ‘agak berisik’ itu benar-benar keterlaluan berisiknya. Suara ‘mengetuk-ngetuk’ yang dijabarkan dalam penjelasan di awal lebih tepat digambarkan sebagai suara ‘menggedor-gedor’, bahkan mungkin 'menggedor-gedor-pintu-besi-menggunakan-kursi-besi-untuk-bisa-keluar-dari-ruangan-yang-terkunci' bisa jadi merupakan penjelasan yang paling masuk akal untuk menggambarkan suara yang dihasilkan si alat ini. Suara ini berganti-ganti dengan suara melengking seperti sirene atau klakson kapal (kapal punya klakson ga sih?) yang sedang buang sauh. Lebih parah lagi, suara itu menenggelamkan dengan sukses usaha Boyzone yang sedang penuh semangat bernyanyi untuk saya. Yaelah…gimana bisa tidur, Mbak perawat? Suara-suara ini ditemani oleh beberapa getaran-getaran kecil di daerah punggung saya, yang saya asumsikan sebagai tanda bahwa alat ini sedang bekerja dengan baik. Kadang suara-suara tersebut akan hilang selama beberapa detik, namun kemudian akan muncul lagi. Kesunyian beberapa detik yang kadang-kadang terjadi itu cukup bagi saya untuk menangkap bahwa selama 30 menit itu, Boyzone ternyata diselingi oleh Celine Dion, The Corrs, dan Janet Jackson.
Karena tidak bisa tidur dan tidak bisa ngapa-ngapain, jadilah pikiran saya berkelana tak tentu arah selama 30 menit dalam tabung MRI. Memang benar kata orang (heh? kata siapa?), berada dalam tabung MRI adalah tempat yang cocok untuk berfikir.
Tidak terasa, 30 menit pun berlalu, dan suara-suara bising tadi lenyap. Dipan saya meluncur keluar tabung, dan selesailah pemeriksaan MRI saya! Hore….
“Hasilnya diambil besok ya, Mbak.”, kata si perawat. “Jangan lupa barang-barangnya.”
Oke deh, jadi minggu ini jadwal saya adalah kembali mengunjungi dokter dengan membawa hasil MRI tadi (wish me luck yah, people). Dan beli duren tentunya…..hmm...slurp...slurp....yummy....