.comment-link {margin-left:.6em;}
Tuesday, July 3
Anak Jalanan
Dia seorang bocah laki-laki kecil. Saya perkirakan umurnya sekitar tiga tahun. Badannya kurus dan kelabu. Rambutnya merah terbakar matahari. Dia mengenakan baju kaus berwarna hijau dan celana pendek warna coklat muda. Kakinya melangkah diatas sepasang sandal jepit kecil. Tangan kirinya memegang sebuah gelas plastik transparan bekas kemasan air mineral, sedang tangan kanannya menggenggam ‘alat musik’ yang terbuat dari sepotong kayu kecil yang pada satu ujungnya dipakukan beberapa bekas tutup botol minuman.

Saat itu dia berdiri di bawah sebuah traffic light. Saya melihatnya dari balik kemudi mobil di antrian lampu merah, pada jarak tiga mobil dari traffic light. Disamping saya berhenti sebuah sepeda motor, ikut menunggu lampu berganti warna. Melihat si bocah, saat itu saya berfikir, anak sekecil itu berkeliaran sendirian di jalan, dimanakah orangtuanya? Apa mereka tidak khawatir kalau terjadi apa-apa pada anak ini? Bagaimana kalau dia tertabrak kendaraan? Saya celingak-celinguk untuk mencari dimana kiranya orang tua si bocah. Di pinggir jalan itu, sekitar tiga mobil di belakang saya terdapat seorang ibu muda yang sedang menggendong seorang bayi sambil memegang peralatan musik serupa. Oke, itu dia sang ibu, begitu pikir saya. Terpisah sekitar sepuluh meter dari anaknya.

Si bocah kecil berjalan ke arah saya, berhenti di kaca pengemudi setiap mobil yang dilaluinya sambil mengulurkan gelas kosong yang dipegangnya. Saya bersiap menyambutnya dengan mengambil sekotak susu. Belakangan ini saya berusaha untuk selalu menyediakan susu kotak, minuman buah kotak, dan snack yang bergizi di mobil saya, untuk dibagikan kepada anak-anak jalanan di lampu-lampu merah.

Si bocah semakin mendekati saya. Tepat saat saya hendak membuka kaca jendela mobil, tiba-tiba saya lihat dia terpeleset dan terjatuh. Badan mungilnya terangkat dari trotoar yang lumayan tinggi dan terhempas di aspal pada celah kecil yang memisahkan trotoar dan barisan mobil. Kepala si bocah membentur pinggiran trotoar dan mendarat tepat di depan roda depan sepeda motor di samping saya, sedang kakinya terangkat ke atas. Jatuh tunggang langgang, mungkin begitu kata yang tepat untuk mendeskripsikannya.

Saya tersentak ngeri, tanpa bisa berbuat banyak. Si pengendara motor terlihat sama kagetnya dengan saya. Pelan-pelan si bocah bangun, dan mengambil gelas dan alat musiknya yang terlepas dari genggamannya. Saya tahu, pasti sakit sekali rasanya jatuh seperti itu. Tapi si bocah tidak menangis. Tepatnya dia menahan tangis. Saya lihat matanya berkaca-kaca, dan bibirnya agak maju dan bergetar sedikit. Di kaki dan tangannya tampak baret-baret luka, sedang bajunya menjadi kotor karena jatuh. Saat itu, saya juga dapat melihat jelas bahwa di keningnya terdapat bekas luka lama yang cukup lebar yang masih setengah kering, yang mungkin lebih pantas disebut koreng. Si bocah tetap berusaha bangkit sendiri dengan gemetar dan berusaha berjalan. Kelihatan sekali dia takut untuk menangis, entah apa yang ditakuti, mungkin takut dimarahi ibunya.

Saya panggil dia lewat jendela mobil saya, dia menoleh, berjalan sedikit mendekati saya dan menerima kotak susu yang saya ulurkan. Bibirnya tetap gemetar, matanya tetap berair. Tidak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Lalu si bocah berjalan menjauhi saya, pelan-pelan mendekati ibunya. Lampu berganti warna, dan saya maju pelan-pelan karena bunyi klakson dari orang-orang yang tak sabar di belakang saya. Dari kaca spion, saya melihat bocah ini dengan takut-takut mendekati ibunya yang tidak bergerak dari tempatnya. Perempuan itu hanya memandang si bocah saja dari jauh, dan meneriakkan sesuatu dengan galak, meskipun saya tidak bisa melihat ekspresi muka sang ibu dan tidak mendengar apa yang diteriakkannya karena saya sudah terlalu jauh.

..........

Saya belum punya anak dan saya bukan penggemar anak-anak. Bahkan biasanya anak kecil akan menangis kalau saya gendong. Mungkin mereka takut pada saya. Saya juga sedikit takut pada anak-anak, karena kadang saya tidak tahu saya harus bicara apa dengan mereka. Mungkin saya bukan orang yang sensitif. Namun pagi itu, saya menjadi sangat sensitif dan saya menangis di sepanjang sisa jalan menuju kantor. Wajah si bocah kecil itu terus terbayang di benak saya.

Kalau kejadian serupa terjadi pada keponakan saya, atau anak kenalan saya, yah… mungkin tidak serupa benar, karena saya berasumsi saudara dan kenalan saya tidak akan membiarkan anaknya saat berumur tiga tahun berkeliaran di lampu merah tanpa pengawasan. Tapi,… kalau saja anak mereka jatuh seperti si bocah tadi, saya bayangkan sang anak akan segera diangkat dan di cek seluruh badan untuk memastikan apakah sang anak terluka atau tidak, kemudian dibersihkan bajunya yang kotor, dan mungkin dibujuk agar berhenti menangis, bila perlu sambil menyalahkan trotoar yang ‘nakal’. Setelah itu mereka mungkin akan menambahkan nasehat agar sang anak lebih berhati-hati lain kali.

Tapi si bocah laki-laki tadi tidak mendapatkan itu semua. Saya sedih membayangkan bocah tadi tidak mendapatkan belaian dan usapan, yang dapat mengurangi sakit dan kagetnya. Saya sedih membayangkan baju bocah tadi tetap kotor karena tidak ada yang membersihkannya. Saya sedih saat membayangkan apa yang menjadi penyebab luka di keningnya. Saya marah karena anak sekecil itu harus mencari uang. Saya lebih marah lagi karena dalam mencari uang, keselamatan si bocah kelihatannya bukan hal yang utama, terbukti dari minimnya pengawasan sang ibu atas keberadaan anaknya yang berkeliaran di seputaran lampu jalan.

Apa jadinya kalau bocah tadi terpeleset saat lampu hijau? Dia dapat tergilas oleh kendaraan yang lewat.

Mungkin ibu sang bocah berpikir dia tidak punya pilihan. Bahwa meminta-minta di jalan adalah satu-satunya yang bisa dilakukan. Dan saya berusaha tidak menyalahkan si ibu atas pilihannya, karena saya tahu hidup itu susah dan mencari kerja itu susah. Tapi mengajarkan dan menyuruh anak untuk ikut meminta-minta? Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya katakan.

Bukankah anak-anak juga mempunyai hak asasi? Mereka mempunyai hak asasi untuk dapat menjalani kehidupan seorang anak yang‘normal’, tanpa terbebani dengan keharusan mencari nafkah untuk kelangsungan hidupnya. Mereka juga mempunyai hak asasi untuk mendapat pengawasan yang cukup, karena mereka belum mampu untuk look after diri mereka sendiri? Bukankah itu semua menjadi tanggung jawab orang tua?

Memikirkan masalah pendidikan, saya bayangkan bagaimana sang anak akan tumbuh dewasa dengan menadahkan tangannya, menganggap bahwa suatu hal yang normal untuk mengharapkan uluran dari orang. Mempunyai anak merupakan tanggung jawab yang sangat besar. Tidak hanya sandang pangan yang menjadi urusan orang tua, tapi pendidikan dan pembangunan watak dan moral anak juga menjadi tanggung jawab orang tua. Dan saya pesimis tanggung jawab ini dapat dipenuhi oleh ibu sang bocah, dan mungkin banyak lagi orang tua dari anak jalanan.

Namun sekali lagi, mungkin keterbatasan pendidikan dan keterbatasan pilihan dan kesempatan yang menyebabkan banyak orang, termasuk ibu sang bocah, menjalani kehidupan jalanan. Siapa yang ingin hidup di jalan dan hidup dari meminta-minta. Siapa yang ingin kepanasan dan kehujanan. Si bocah kecil itu pun mungkin merupakan generasi kesekian di keluarganya yang hidup di jalanan.

Kalau begitu, siapa yang salah sebenarnya? Marah saya ini harus ditujukan kepada siapa?
 
posted by FLaW at 2:11 PM | Permalink |


4 Comments:


  • At 10:13 PM, Blogger Innuendo

    doooh gue bacanya juga mau nangis neh. 3 tahun...kebayang ponakanku.

    kasian banget sih sekecil itu dipaksa minta2x.

    di indonesdia ada gak sih UU perlindungan anak ?

     
  • At 6:03 PM, Blogger ime'

    gue sih cuman punya satu pertanyaan, fit: lo yakin itu ibunya?

    sorry to say, tapi kadang-kadang (most of the time), anak-anak kecil itu sebenarnya 'diberdayakan' oleh orang-orang dewasa yang pengen dapet uang.

    komnas anak sebenarnya menurut gue banyak gunanya. tapi kadang-kadang disalahguna'in juga sama orang dewasa. *sorry to say, tapi gue prihatin aja dengan kasus dituntutnya polisi gara-gara 'melumpuhkan' teroris di depan anak-anaknya. ini yang bener gimana yah sebenarnya?* sorry... jadi melebar :D

    kemane aje loowwwwwhhhh???

     
  • At 12:53 PM, Blogger amethys

    iyah nee....mungkin ibu2 itu bukan mbok nya, mosok seh klo mboknya liat anaknya jatuh tetep aja diem2?
    setiap aku melihat anak2 yg seperti dikau gambarkan..aku selalu berfikir sendiri, inikah "generasi" yg hilang?
    apalagi aku membaca kekerasan yg dialami anak2 jalanan....dipalak diperkosa dan di injak2 hak nya........ngeriiiiiii

     
  • At 2:13 PM, Blogger FitrinaMuchsin

    hiks sedih banget bacanya, jadi teringat kalo g ngomelin anak g, moga2 g bisa jadi ibu yang baik buat anak2 g...paling gak g mulai dari diri g..hiks