.comment-link {margin-left:.6em;}
Monday, May 8
Cooking is never easy...
Post ini juga dimuat di rubrik Kolom Kita di Kompas Online


Saya sering merasa kagum pada orang-orang yang jago memasak. Saya heran bagaimana mereka bisa meracik bahan-bahan mentah sehingga bisa menjadi sesuatu yang enak dimakan. Pengalaman memasak saya sebenarnya mendekati nol, tapi bukan berarti saya tidak pernah memasak sama sekali. Status sebagai mahasiswi yang hidup sendiri di negeri orang selama beberapa tahun ‘memaksa’ saya untuk memasak demi kelangsungan hidup. Padahal sebelumnya di Indonesia, masuk dapur pun saya jarang. ‘Eating out’ tentunya menghabiskan lebih banyak biaya dibandingkan memasak sendiri. Selain itu saya juga rindu dengan masakan Indonesia, padahal kebetulan tempat saya belajar adalah satu kota kecil di negara bagian Michigan dimana tidak ada restoran yang menjual masakan Indonesia. Mau tidak mau untuk memuaskan kerinduan saya akan makanan Indonesia, saya pun harus memasak. Bermodalkan bumbu instant Indofood (sori, bukan promosi) yang saya bawa dari Indonesia, saya belajar untuk mengolah beberapa jenis masakan Indonesia, seperti rendang, opor ayam, soto daging, ayam goreng, dll. Pada awalnya, percobaan memasak saya lebih sering gagal ketimbang berhasil, dan sering kali berakhir dengan episode dimana saya memutar nomor telfon restoran Chinese langganan saya untuk mengorder makanan. Beberapa peralatan masak dan barang-barang di apartemen saya pun kerap menjadi korban.

Pertama kali saya memasak rendang, saya tidak tahu bahwa rendang harus diaduk terus menerus. Yang saya lakukan adalah setelah merebus daging dalam panci hingga setengah empuk, saya masukkan bumbu instant rendang dan santan. Kemudian, panci saya tutup dan saya tinggalkan dapur untuk menonton tv. Dari informasi ala kadarnya yang saya kumpulkan saat itu, memasak rendang membutuhkan waktu yang lama, sehingga saya menonton tv dengan santai, sampai hidung saya mencium bau sesuatu yang terbakar. Segera saya melompat dari sofa dan berlari ke dapur, dan ternyata ‘rendang’ saya sudah hangus dan panci yang saya gunakan sudah menghitam dan bolong dasarnya. Gagal lah saya makan rendang hari itu.

Kali lainnya, saya ingin memasak ikan pepes. Dari resep pepes ikan yang saya dapatkan dari internet, disebutkan bahwa sebagai alternatif menggunakan daun pisang dapat digunakan aluminum oil, dan sebagai alternatif mengukus ikan, dapat digunakan oven untuk memanggang. Kemudian setelah ikan dibalur dengan bumbu dan dibungkus dengan aluminum foil ikan harus dipanggang selama 30 menit pada suhu 200 derajat. Karena ingin ikannya ‘sedep’, saya pun menambah takaran bumbu dari takaran yang tertulis pada resep. Setelah memasukkan ikan dalam oven dan menyalakan oven, saya pun duduk dengan manis di depan tv menunggu matangnya ikan. 30 menit berlalu, saya intip ikan saya, namun masih terlihat mentah. Hmm….akhirnya saya tambahkan lagi waktu panggang 30 menit. Masih tidak ada perubahan….saya tambah 30 menit lagi….akhirnya tidak terasa saya sudah memanggang ikan saya selama dua jam, namun belum ada tanda-tanda si ikan akan matang. Saya pun frustasi. Bau ikan pun sudah memenuhi apartemen saya yang mungil. Kebetulan pada saat genting itu, teman saya sesama pelajar dari Indonesia datang untuk mengunjungi saya. Dia pun kaget karena begitu masuk apartemen saya dihantam dengan bau ikan yang sangat menusuk ditambah bau bumbu (kebanyakan bawang) yang membuat batuk dan perih mata. Sambil terbatuk-batuk, dia bertanya bau apa itu. Saya menjawab saya sedang mencoba salah satu resep pepes ikan dari internet. Saya tunjukkan resep yang saya gunakan, dan saya bawa teman saya ke dapur untuk meng’observe’ ikan saya yang ada dalam oven. Teman saya pun mempelajari resep tadi, dan kemudian tertawa terbahak-bahak. Ternyata karena resep yang digunakan adalah dari Indonesia, maka suhu yang tertulis untuk memanggang ikan adalah dalam Celsius. 200 Celsius. Namun, kebetulan karena saya tinggal di Amerika yang menggunakan satuan derajat Fahrenheit untuk suhu, maka suhu oven yang saya gunakan juga dalam satuan derajat Fahrenheit. Untuk mengkonversi suhu dalam Celsius ke dalam derajat Fahrenheit sebenarnya dapat digunakan rumus = (9/5*Suhu dalam celcius) + 32. Tapi saya tidak paham pada saat itu. Hehe….Untuk memasak ikan pepes tadi, seharusnya saya set oven saya pada suhu sekitar 400 derajat Fahrenheit, dan bukan 200. Pantas saja ikan saya tidak matang-matang, malah menebarkan bau ke segala penjuru apartemen saya. Bau ini tidak hilang sampai satu minggu berikutnya dan melekat pada sofa, baju-baju dan jaket yang kebetulan saat itu tergantung di pintu kamar. Walaah….

Tapi seperti kata pepatah, ala bisa karena biasa, setelah gagal berkali-kali, akhirnya saya bisa menghasilkan hidangan yang ‘layak’ dimakan. Meskipun rasanya tidak seperti masakan si mbak di rumah, namun saya sudah cukup puas dengan masakan saya, bahkan setelah satu tahun, saya mulai pede untuk membawa masakan saya ke acara-acara potluck mahasiswa Indonesia yang biasanya rutin diselenggarakan tiap bulan. Kebetulan di kota saya, pada saat itu mahasiswa/i dari Indonesia jumlahnya sekitar 20 orang. Menu andalan saya adalah tempe orak-arik. Tempe disana agak sedikit keras dibanding tempe yang dijual di Indonesia, sehingga biasanya setelah saya potong-potong saya rebus dulu tempenya agak lama. Setelah itu saya masukkan bumbu Sambal Goreng instant dan santan kaleng. Tambahkan sedikit kecap atau gula, kemudian setelah tempe hampir matang, saya masukkan potongan cabe hijau. Sederhana kan? Senang juga rasanya melihat masakan saya habis diserbu teman-teman yang lain. Padahal mungkin mereka memang kelaparan berat dan tidak ada alternatif makanan lain. Hehe…

Saya makin tambah pede ketika pacar saya waktu itu yang orang Amerika, juga menyenangi masakan Indonesia (termasuk masakan saya). Biasanya setiap weekend, kita gantian masak. Kadang dia masak hidangan khas barat untuk saya, dan saya pun kadang masak masakan Indonesia untuk dia. Dari dia pula saya belajar untuk menganggap masak itu bukan suatu beban, namun suatu kegiatan yang fun dan bisa dinikmati. Biasanya sebelum acara masak dimulai dia akan memilih lagu-lagu untuk didengarkan selama masak, dan dia akan masak sambil bernyanyi-nyanyi bahkan kadang sambil bergoyang mengikuti irama musik. Dia pun belajar membuat masakan-masakan Indonesia (dengan bumbu instant, sama seperti saya tentunya), yang kadang dia campur dengan bumbu-bumbu lain, dan kadang malah hasilnya lebih enak dari yang saya buat. Karena biasanya saat lunch kebanyakan pekerja di Amerika membawa bekal dari rumah, dia pun sering membawa bekal masakan Indonesia untuk lunch. Kebayang kan, saat dia membawa nasi rendang ke kantor yang kemudian di panaskan saat lunch di public microwave di area pantry, hmm…baunya menyebar kemana-mana, dan membuat rekan-rekan kerjanya bertanya-tanya. Dia dengan bangga menjelaskan bahwa yang dia bawa adalah masakan khas Indonesia dan mempersilahkan rekan-rekannya yang ingin tahu rasanya untuk mencoba. Hmm…lumayan deh, promosi gratis untuk Indonesia. Hahaha….Meskipun saya sekarang sudah kembali dan bekerja di Jakarta dan saya pun sudah tidak bersama dia lagi, namun hubungan kami sebagai teman dan sahabat tetap dekat, dan dia masih sering memasak makanan Indonesia. Malah dia bercerita mengenai libur Natal kemarin dimana dia berkumpul di rumah keluarganya di New Mexico. Dia yang memang hobi memasak minta izin pada ibunya untuk diperbolehkan membuat hidangan utama untuk dinikmati keluarganya pada hari Natal, dan akhirnya diizinkan oleh ibunya. Yang dia masak tidak lain dan tidak bukan adalah rendang dan opor ayam. Hahaha….Saya pikir, kok jadi seperti lebaran di Indonesia saja. Bedanya tidak pakai ketupat.

Sekarang saya sudah kembali ke Jakarta, dan meskipun sempat bertahun-tahun masak sendiri di negeri orang, tapi sepertinya semua ketrampilan saya menguap begitu saja begitu saya mulai tinggal di Indonesia lagi. Memang bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Mungkin karena di Indonesia kita terbiasa menggunakan jasa asisten rumah tangga, atau mungkin juga karena saya minder dengan si mbak yang memang jago sekali urusan memasak dan ‘tidak rela’ kalau dapurnya dijajah. Mungkin juga karena dulu saya selalu menggunakan bumbu instant sehingga saya pun tidak paham mengenai bumbu-bumbu dasar yang digunakan untuk mengolah masakan, dan sepertinya memasak dengan bumbu instant di Indonesia dianggap tidak bisa menghasilkan makanan seenak makanan yang diolah dari 'scratch' dengan menggunakan bumbu dasar. Tapi saya agak lega sedikit karena tahu kalau nanti suatu saat saya 'terpaksa' masak lagi, saya tahu bahwa saya bisa, meskipun seadanya. Sekali lagi memang itu bukan alasan dan memang tidak bisa dibanggakan. Namun setidaknya sekarang saya bisa mencicipi makanan dan bisa menilai sedikit mengenai kelebihan atau kekurangan makanan itu, seperti misalnya kurang asin, atau terlalu banyak bawang. Sebelum saya tinggal sendiri di negeri orang, saya sama sekali tidak bisa diandalkan untuk urusan mencicipi makanan. Saya tidak bisa menilai apakah satu masakan itu kurang asin, kurang pedas, kemanisan atau sudah pas kalau memang tidak ekstrim sekali kekurangannya. (Adik saya bahkan lebih parah, dia tidak bisa membedakan masakan basi atau tidak. Hehehe…). Karena itu saya dan adik saya kagum sekali dengan Pak Bondan Winarno yang punya rubrik
Jalan Sutra di Kompas online dan memandu acara TV Bango Cita Rasa Nusantara. Kok bisa ya beliau mencicipi makanan, kemudian menilainya dengan memberikan deskripsi yang jelas mengenai makanan tadi, termasuk bumbu-bumbu apa yang dipakai mengolah, kemudian beliau dapat menggambarkan makanan khas lain yang mirip dengan makanan yang sedang dideskripsikan untuk dijadikan referensi para pembacanya. Acungan jempol buat Pak Bondan yang sangat peduli pada kekayaan kuliner Indonesia. Kami sekeluarga penggemar berat acara Pak Bondan ini yang tayang setiap Sabtu pagi. Beberapa teman saya juga menggemari acara ini, bahkan ada satu teman saya yang bilang pekerjaan Pak Bondan ini adalah pekerjaan impiannya. Dalam benak saya dan adik saya, kira-kira Pak Bondan mau tidak ya mengangkat kami ini menjadi asisten dan menemani beliau pergi jalan-jalan keliling nusantara untuk mencicipi makanan khas dari daerah-daerah nusantara. Sekalian juga kami bisa belajar mengenai makanan dari beliau, biar tidak bodoh-bodoh amat. Hehehe…
 
posted by FLaW at 4:20 PM | Permalink |


2 Comments:


  • At 11:55 AM, Anonymous Anonymous

    Keep trying bu... Aza Aza Fighting..!!

     
  • At 4:27 PM, Anonymous Anonymous

    well...i agree wd her abt bondan winarno.i wish i can hv my own tv program like him. i can go all around indonesia and also anywhere in this world and trying d food,yummy....
    my friend told me that i'm one of d good cook but it's not enough because most of my food come from d instantly prepared spices. i wanna b like jang geum ma who knows the ingredients of d food just by tasting it.
    anyway,when im in jakarta for good...(Inshallah),let's go and try all of d restaurants in jakarta,from d kaki lima till d five star hotel. ok sis???